Title : Rose and Cactus’s Story
Genre : Friendship
Author : Arum Wulandari
*****
Terdengar suara musik yang cukup keras berasal dari aula sekolah, meski seperti itu namun tak ada satu pun yang merasa terganggu. Saat istirahat hal itu sudah menjadi kebiasaan yang tak asing lagi bagi sekolah itu.
“Hey bunga Mawar, istirahat dulu yuk!” teriak salah satu siswi pada temannya yang masih terlihat bersemangat menari. Siswi itu mengambil sebotol air mineral dan langsung minum dari botol itu.
“Kalian duluan aja, gue masih mau latihan. Oiya, bisa gak sih kalian tuh berenti manggil gue bunga mawar nama gue Mala tau.” Jawab gadis yang di panggil bunga Mawar itu.
“Ya, itu kan emang julukan loe. Lima belas menit lagi waktu istirahat kan selesai, ayolah istirahat dulu, nanti loe kecapean.” Ucap siswi tadi sambil tertawa pelan,
“Rena!! udah loe duluan aja. Nanti gue nyusul.” Ucap siswi bernama Mala.
“Ya udah, gue sama Nia duluan ya.” Ucap siswi bernama Rena.
“Iya.” Jawab Mala singkat.
Akhirnya kedua siswi itu pergi meninggalkan Mala sendiri.
“Sejak masuk SMA, satu sekolah selalu manggil gue bunga mawar. Ini gara-gara waktu MOS gue di suruh bawa tanaman dan gue bawa tanaman mawar banyak banget. Ya abis mau gimana lagi, gue kan emang suka banget sama bunga yang satu itu. Malah kadang gue mikir mau nanam mawar di setiap sudut sekolah ini.” ujar Mala dalam hati. Sebenarnya ia tidak keberatan di panggil bunga mawar, tapi karena julukan itu jarang sekali siswa ataupun siswi di SMA itu yang mengenal nama aslinya. Hal itu yang membuat Mala sedikit kesal jika di panggil bunga mawar.
Tapi karena julukan itu juga lah Mala menjadi siswi yang cukup dikenal, selain itu Mala yang memiliki hobi menari dan menyanyi dan sering menjuarai perlombaan menari maupun menyanyi yang diikutinya itu membuatnya semakin di kenal di sekolah, hampir semua siswa dan siswi mengagumi sosok Mala. Hal itu membuat Mala memiliki banyak teman, selain itu setiap kali mengikuti lomba Mala selalu mendapatkan teman baru. Namun hal itu juga yang membuatnya harus puas memiliki nilai akademik rata-rata, bahkan kadang di bawah rata-rata, karena sering terpaksa ijin tidak masuk sekolah.
Sementara itu di perpustakaan terlihat seorang siswi yang sedang membaca, selain buku yang dibacanya dihadapannya juga terdapat banyak buku yang menanti giliran untuk di baca oleh siswi itu.
“Kikan!!” bisik seorang penjaga perpustakaan.
Siswi yang di panggil Kikan itu tidak memalingkan sedikitpun perhatiannya dari buku yang di bacanya.
“Kaktus!!” ucap penjaga perpustakaan itu dengan suara yang sedikit lebih keras.
Akhirnya siswi bernama Kikan itu menoleh, ia terlihat kurang senang mendengar petugas perpustakaan memanggilnya dengan sebutan kaktus.
“Mas, bisa gak sih berenti manggil saya kaktus. Nama saya kan Kikan.” Ucap siswi itu sedikit kesal,
“Habis tadi saya panggil Kikan kamu gak noleh, pas di panggil kaktus baru noleh.” Jawab petugas perpustakaan itu.
“Semua orang di sekolah lebih kenal kamu dengan sebutan itu, lagian kamu kan emang suka banget koleksi benda-benda berbau kaktus.” Tambah petugas perpustakaan itu.
“Iya sih, saya emang suka banget kaktus, tapi kan bukan berarti nama saya berubah jadi kaktus mas.” Jawab Kikan.
“Lagian sih kamu, pas di suruh bawa tanaman waktu masa orientasi bawanya kaktus, besar banget lagi.”
Kikan tidak berkata apa-apa lagi, ia hanya tak habis pikir ternyata kejadian pada saat masa orientasi beberapa tahun lalu itu bisa di ketahui semua orang di sekolah itu, bahkan seorang petugas perpustakaan juga mengetahuinya.
Akhirnya Kikan kembali ke ruang kelasnya karena bel masuk sudah berbunyi. Kikan berjalan menuju ruang kelas 3-1. Begitu juga dengan Mala yang sudah berganti seragam, ia berjalan menuju ruang kelas 3-3.
Setelah lima menit berada di ruang kelasnya Kikan menerima hasil ulangannya tiga hari yang lalu, yang di bagikan oleh salah satu teman sekelasnya.
“Lagi lagi nilai sempurna. Dari kelas satu nama loe pasti selalu ada di papan nama-nama sepuluh besar sekolah ini.” ucap salah satu teman Kikan yang duduk di sampingnya. Menanggapi hal itu Kikan hanya tersenyum simpul.
“Aku juga sangat senang mendapatkan nilai bagus, tapi nilai bagus ini tidak bisa membuatku memiliki sahabat. Semua yang dekat denganku selalu menganggapku terlalu serius dan tidak bisa di ajak bermain.” Ucap batin Kikan.
Sementara itu Mala yang terlambat masuk ke kelas mendapat teguran dari guru yang saat ini menganjar di kelasnya.
“Mala! Lagi lagi kamu telat masuk kelas. Jika seperti ini terus, ibu akan adukan kepada kepala sekolah, dan ibu akan meminta beliau untuk tidak mengijinkan kamu berlatih menari di sekolah lagi.” ucap guru itu marah.
“Maaf bu, tadi saya ke toilet dulu.” Jawab Mala.
“Ya sudah cepat duduk.”
“Sst, itu kertas ulangan kamu.” Ucap Rena setengah berbisik. Mala mengambil selembar kertas yang ada di atas mejanya itu dan melihat hasil ulangannya dua hari yang lalu. Setelah melihat nilainya Mala hanya bisa menghela napas panjang.
“Kenapa?” tanya Rena.
“Yaa, biasa lah Ren.” Jawab Mala, mendengar jawaban singkat Mala membuat Rena langsung mengerti apa yang di maksud oleh Mala.
“Kapan namaku bisa masuk ke daftar nama siswa siswi terbaik di sekolah ini” tanya batin Mala.
Setelah hampir dua jam akhirnya bel pulang berbunyi, setelah merapikan semua buku dan alat tulis masing-masing satu persatu siswa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Mereka terlihat tak sabar untuk tiba di rumah masing-masing.
“Mala, tunggu sebentar!!” ucap guru yang tadi memarahi Mala.
“Iya ada apa bu?” tanya Mala yang sudah berniat meninggalkan ruang kelasnya.
Gurunya meminta Mala untuk ikut ke ruang guru, Mala pun menurutinya dan ikut ke ruang guru. Setibanya di ruangan itu Mala duduk tepat di hadapan guru yang mengajaknya tadi.
“Mala, sebenarnya ibu tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kamu pasti mengerti apa yang ibu katakan, ini tentang nilai-nilai kamu yang semakin hari semakin menurun.” Ucap guru Mala.
Mendengar ucapan gurunya Mala hanya terdiam dan menundukkan kepalanya.
“Enam bulan lagi akan di adakan ujian akhir, kamu harus mengejar ketinggalan kamu. Jika ibu boleh menyarankan sebaiknya kamu istirahat dulu dari kegiatan menari dan menyanyi.” Tambah guru Mala.
“Iya bu saya mengerti.”
Setelah selesai membicarakan masalah nilainya, Mala segera meninggalkan ruangan guru dan bergegas pulang ke rumah. Mala berjalan menuju gerbang sekolah, Mala menoleh ke kanan dan ke kiri, lingkungan sekolah sudah terlihat lebih sepi. Hanya beberapa saja yang masih ada di lingkungan sekolah. Di antara beberapa yang belum pulang Mala melihat seorang siswi yang membawa buku-buku tebal dengan jumlah yang tidak sedikit. Mala memicingkan matanya dan ia tidak percaya ada orang yang sangat hobi membaca sampai-sampai mau membaca buku-buku tebal yang ia lihat itu.
Ternyata siswi yang di lihat oleh Mala adalah Kikan, karena belum selesai membaca Kikan memutuskan untuk meminjam buku-buku itu dari perpustakaan. Kikan berjalan perlahan, karena buku yang ia bawa terlalu banyak sampai-sampai menghalangi pandangannya.
Kikan dan Mala adalah siswi terakhir yang meninggalkan sekolah. Hari sudah mulai sore, langit biru mulai berubah menjadi oranye.
Setibanya di rumah, Mala segera pergi ke kamarnya. Mala membanting tubuhnya keatas tempat tidurnya, kemudian menarik napas panjang. Mala menatap beberapa piagam penghargaan dan piala yang ia dapatkan saat lomba menari dan menyanyi. Mala terlihat kurang senang, ia hanya tersenyum simpul menatap piagam dan piala-piala miliknya itu. Dari luar kamarnya terdengar suara ibunya memanggil.
“Malaaa!!! Kamu sudah mandi belum, mandi sana setelah itu makan.” Teriak sang ibu.
“Iya mah!” teriak Mala yang segera pergi ke kamar mandi sambil membawa handuk di pundaknya.
Sementara itu Kikan yang juga sudah tiba di rumahnya sudah mandi dan makan bersama ibunya. Saat ini Kikan berada di kamarnya, ia menatap piala dan piagam penghargaan yang ia dapatkan setiap kali mendapatkan juara kelas maupun juara umum. Selain itu di antara piala itu terdapat beberapa piagam yang ia dapatkan saat mengikuti perlombaan Nasional. Kikan berjalan menuju piagam-piagam itu di pajang. Ia menyentuh salah satu piagam itu dan tersenyum simpul. Namun di wajahnya terpancar kesedihan.
“Hanya mereka yang selalu menjadi temanku selama ini.” ucap Kikan perlahan.
Kemudian Kikan berjalan menuju meja belajarnya, tempat ia meletakkan buku yang tadi ia pinjam dari perpustakaan. Kikan pun duduk di hadapan meja belajarnya dan mulai membaca buku yang belum selesai ia baca saat di perpustakaan sekolah tadi.
Di waktu yang sama Mala yang sudah selesai mandi, kini sedang makan malam di temani sang ibu. Mala sudah hampir menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Setelah makanan itu benar-benar habis Mala pergi ke dapur untuk meletakkan piring yang ia pakai tadi dan kemudian mencucinya. Setelah selesai Mala pun kembali ke kamarnya, Mala duduk di atas tempat tidurnya sambil termenung memikirkan ucapan gurunya tadi siang.
“Kayanya bener deh, buat sementara harus istirahat dulu.” Ucap Mala perlahan.
Mala menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, ia memejamkan matanya dan akhirnya ia pun terlelap.
Mentari pagi mulai menyapa, sinarnya yang tajam menembus jendela kamar Mala, sinar tajam itu membuatnya terkejut dan membuka matanya, dengan cepat tangannya meraih jam yang ada di sampingnya. Matanya terbelalak saat mengetahui jam berapa sekarang.
“Apa? Jam tujuh? Aku telat.” Teriak Mala panik.
“Mamah, kenapa gak bangunin aku?” tanya Mala semakin panik sambil berjalan menuju kamar mandi.
“Siapa bilang? Mamah bangunin kamu berkali-kali, emang kamu gak dengar?” tanya ibunya yang sedang memasak di dapur.
Setelah selesai mandi dan selesai menyiapkan semuanya, Mala pun segera bergegas pergi ke sekolah.
Setibanya di depan gerbang sekolah Mala berlari menuju gerbang sekolahnya itu namun semua terasa sia-sia saat ia mengetahui bahwa gerbang itu sudah di tutup.
“Pak!!” Mala memanggil satpam sekolahnya.
“Eh, neng mawar.” Ucap satpamnya.
“Nama saya Mala pak bukan mawar, tolong buka gerbangnya dong, saya mau masuk udah telat nih.” Pinta Mala
“Tapi neng, sudah peraturan. Bagi siswa maupun siswi yang telat baru diperbolehkan masuk setelah jam pelajaran pertama selesai.” Jawab satpam itu.
Mala yang memang sudah tahu peraturan itu hanya bisa diam dan menunggu jam pertama berakhir.
Setelah menunggu tiga puluh menit, akhirnya bel yang menandakan berakhirnya jam pertama pun berbunyi. Mala pun bersorak gembira, bersamaan dengan satpam yang membukakan gerbang sekolah untuknya. Mala pun berlari menuju ruang kelasnya.
“Maaf bu saya terlambat.” Ucap Mala pada guru yang sedang mengajar di kelasnya.
“Mala, Mala. Ya sudah cepat duduk di bangku kamu.” Ucap guru itu sambil menggelengkan kepalanya.
Rena yang duduk di samping Mala menatapnya dengan tatapan heran sambil menghela napas panjang.
Mala hanya tersenyum simpul menanggapai sikap Rena. Jam pelajaran kedua pun dimulai.
Sementara itu di ruang kelas lain, tepatnya di kelas Kikan, terlihat Kikan yang sangat serius memperhatikan setiap penjelasan yang diberikan gurunya. Bagi Kikan tak ada sedetik pun yang bisa ia sia-siakan, sementara bagi Mala tak ada sedetikpun waktu yang menyenangkan saat belajar. Berbeda sekali dengan Kikan yang selalu serius belajar, Mala justru sering tak menghiraukan penjelasan yang di berikan gurunya.
Sorak gembira pun mulai terdengar memecah keheningan yang tercipta hampir tiga jam itu tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Mala bersemangat menuju tempat yang selalu ia tuju saat istirahat, begitu juga dengan Kikan yang sudah bersiap menuju perpustakaan.
Mala yang berjalan dengan tergesa-gesa tak memperhatikan langkah kakinya hingga tiba-tiba terdengar benturan yang cukup keras. Brukk.
“Aduh, sorry sorry, ga liat.” Teriak Mala.
“Ah, iya tidak apa-apa.” Jawab Kikan, orang yang baru saja di tabrak Mala.
Kikan merapikan beberapa buku bawaannya yang berserakan di lantai, buku-buku itu hendak ia kembalikan ke perpustakaan. Mala yang merasa bersalah pun membantu Kikan membereskan buku-buku yang di bawa Kikan, dan tanpa sengaja ia melihat gantungan yang tergantung di ponsel Kikan.
“Kaktus?” tanya Mala perlahan, ia berpikir sejenak sambil menatap gantungan itu.
“Loe? Si kaktus itu ya?” tanya Mala sedikit berteriak. Tentu saja hal itu membuat Kikan terkejut dan memalingkan pandangannya pada Mala. Kikan menatap Mala dengan tatapan heran dan penuh tanya. Tatapan matanya berhenti di ponsel yang di pegang Mala.
“Bunga Mawar?” ucap Kikan perlahan
Mereka pun saling menatap satu sama lain, untuk sesaat suasana terasa sepi dan hening.
“Kamu si bunga Mawar?” tanya Kikan memecah kebisuan diantara mereka. Mala tersenyum simpul tanpa berkata apa-apa.
“Sejak kelas satu aku memang selalu penasaran dengan orang yang mendapat julukan bunga mawar, dan hari ini akhirnya aku bertemu dengannya. Meski berada di lingkungan sekolah yang sama dan selalu melewati gerbang yang sama, serta makan dan minum di kantin yang sama. Aku sama sekali tidak pernah tahu bahwa dialah yang di juluki bunga mawar, mungkinkah ini karena aku terlalu sibuk dengan buku-buku perpustakaan? Ternyata benar dia memang modis dan cantik, secantik mawar.” ucap Kikan dalam hati sambil menatap Mala.
“Emm, jadi loe yang dijulukin kaktus ya? Dari penampilan dan buku-buku itu, sekarang gue yakin dan percaya sama berita tentang loe.” Ucap Mala sambil tersenyum menatap Kikan.
“Aku juga, sekarang aku baru tahu kamu. Yaa, dari awal dengar cerita tentang kamu, aku udah yakin kamu pasti emang seperti bunga mawar.” Balas Kikan dengan ramah.
“Maksud loe?”
“Ya, dari berita yang aku dengar tentang kamu, semua mengatakan bahwa kamu cukup populer di sekolah ini, selain kagum sama wajah cantik kamu mereka juga kagum sama suara dan tarian kamu. Kamu beruntung ya bisa memiliki banyak sahabat yang mengagumi kamu, pasti menyenangkan.” Jawab Kikan, wajahnya kemudian sedikit murung saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Apa maksudnya itu, gue anggap itu sebagai pujian, terimakasih. Tapi kayanya gak sesempuran yang loe bilang deh. Malah sejak pertama gue dengar berita tentang loe, gue penasaran banget sama loe. Tapi karena gue jarang di sekolah jadi gak pernah sempet buat ketemu sama loe. Pasti temen-temen loe lebih bangga punya temen yang namanya selalu terpampang di papan peringkat sekolah ini.” balas Mala yang juga terlihat sedikit kecewa pada dirinya sendiri. Menanggapi hal itu Kikan hanya tersenyum simpul.
“Hal itu benar jika saja aku memiliki teman, meski hanya satu.” Ucap Kikan dalam hati.
“Oh iya nama gue Mala.”
“Aku Kikan.”
“Oke deh Kikan, seneng akhirnya gue bisa ketemu sama loe. Gue pergi dulu ya, gue lagi buru-buru nih.”
“Iya.” Jawab Kikan singkat sambil tersenyum.
Mala melangkah ke arah yang berlawanan dengan arah yang di tuju oleh Kikan. Begitu juga Kikan yang melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan, mereka sempat berhenti dan menoleh lalu saling melemparkan senyuman sampai akhirnya kembali melanjutkan langkah kaki masing-masing.
Setibanya di aula sekolah, Mala yang sudah mengganti pakaiannya pun mulai berlatih menari. Namun tariannya tak seperti biasanya, ia terlihat kacau.
“Mal, loe kenapa sih? Kayanya ada yang loe pikirin ya?” tanya Rena.
“Hah? Gak, gue gak apa-apa kok.” Jawab Mala mengelak.
“Bohong, dari tadi tuh loe gak fokus sama tarian loe. Bukannya tiga bulan lagi loe bakal ikut lomba ya?” tanya Rena memastikan.
“Gak tau nih, mungkin gue kecapean aja kali. Gue beli minum dulu ya.”
Rena menatap marah pada Mala yang terlihat menyembunyikan sesuatu.
Sama dengan mala yang tidak fokus dengan tariannya, di perpustakaan Kikan juga terlihat kurang fokus dengan buku yang di bacanya hingga tidak sadar buku yang di pegangnya itu terbalik.
“Sst, kaktus!!” panggil petugas perpustakaan yang sejak tadi memperhatikannya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kikan yang tidak suka dipanggil seperti itu menoleh dengan tatapan malas.
“Kamu sih kebanyakan nanam kaktus, sampai-sampai membaca buku pun terbalik.” Ledek petugas perpustakaan itu sambil tertawa.
“Ha? Masa sih?” Kikan pun menoleh ke buku bacaannya dan terkejut saat mengetahui buku itu terbalik.
“Benar kan? Makanya jangan mikirin kaktus terus.”
“Apa sih mas Ricky, gak gitu kok.” Elak Kikan.
Mala yang sempat pergi dari aula memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Ia juga membawakan sebotol air mineral untuk Rena dan Nia. Di perjalanan menuju aula, Mala menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah siapa yang sedang ia cari.
“Ren, loe kenapa sih? Kayanya akhir-akhir ini selalu nyari kesalahan Mala?” tanya Nia.
“Gue udah males tau Ni sama gayanya Mala, semakin hari dia semakin sering melanggar peraturan sekolah. Gue kan temenan sama dia cuma mau ikutan populer bukannya mau ikutan dapet masalah di sekolah. Nilainya makin turun, sering telat, jarang ngerjain tugas lagi.” jawab Rena.
Mala yang sudah berada di depan pintu aula mendengar semua percakapan Nia dan Rena. Bahkan ia hampir menjatuhkan air mineral yang ia bawa untuk kedua sahabatnya itu.
“Mala?” ucap Nia yang melihat Mala masuk ke aula. Wajahnya terlihat kecewa dan sedih mengetahui kenyataan tentang Rena.
“Loe? Udah lama loe di situ?” tanya Rena terkejut.
“Iya lumayan lama.” Jawab Mala dingin.
“Terus loe denger banyak?” tanya Rena lagi.
“Lumayan banyak, termasuk soal loe yang mau temenan sama gue cuma karena mau ikutan populer.” Jawab Mala kesal. Mala berjalan ke tempat ia meletakkan handuknya, ia membungkuk dan mengambil handuk itu dan kemudian berniat meninggalkan aula sekolah. Mala berhenti saat hendak melewati Rena dan Nia, ia menatap kedua sahabatnya dan merasa sangat kecewa.
“Oh iya, ini air buat loe. Gue pikir loe juga pasti haus kan?” ucap Mala sambil memberikan botol air mineral yang di belinya kepada Rena.
“Mala, tunggu Mal, gue yakin Rena gak serius ngomong kaya gitu. Iya kan Ren?” ucap Nia berusaha menghentikan Mala.
“Siapa bilang, gue se..se..gue serius kok.” Teriak Rena sedikit terbata-bata.
“Issh Rena, loe ngomong apa sih? Kita kan udah hampir tiga tahun temenan sama Mala. Mala tunggu Mal.” Teriak Nia panik. Namun Mala tak menghiraukan teriakan Nia, ia terus berjalan menuju toilet wanita untuk mengganti kembali pakaiannya.
Mala terus saja memikirkan ucapan Rena, tatapan matanya kosong dan pikirannya melayang entah kemana. Setelah mengganti pakaiannya, Mala kembali ke ruang kelasnya. Ia meletakkan kepalanya di atas mejanya, matanya mulai berkaca-kaca, dan tatapan matanya masih kosong.
“Mala?” panggil seorang guru.
“Ah! Iya, ada apa bu?” tanya Mala.
“Ikut ibu ke ruang guru sebentar.” Jawab guru itu.
Ini sudah ketiga kalinya Mala di panggil ke ruang guru oleh guru yang berbeda.
Seperti sebelum-sebelumnya, kali ini pun Mala mendapat teguran mengenai nilai-nilainya yang semakin turun juga tentang tugas-tugasnya yang belum ia kumpulkan.
“Ingat Mala, dua bulan lagi kita akan ada ujian akhir. Mulai sekarang, kamu harus berusaha belajar lebih rajin lagi.” ucap guru itu sebelum mengijinkan Mala kembali ke kelasnya. Setelah itu Mala pun di ijinkan kembali ke kelasnya. Disaat hendak pergi dari ruang guru, Mala melihat gadis yang tadi ia tabrak.
“Ibu sudah dengar tentang prestasi kamu di kelas, ibu juga senang kamu akan mengadakan kegiatan belajar bersama.” Ucap seorang guru pada Kikan,
“Iya bu, ini juga karena permintaan teman-teman di kelas. Mereka meminta saya untuk mengajari mereka.” Jawab Kikan.
“Bagus Kikan, ibu sangat senang mendengarnya. Teruskan ya.”
“Iya bu.”
Mala yang sempat mendengar pembicaraan mereka terlihat sedikit iri, ia hanya bisa menghela napas panjang mendengar semua itu.
Akhirnya hari pun berlalu, waktu pulang sekolah pun tiba. Sesaat setelah bel pulang berbunyi seluruh siswa dan siswi mulai keluar dari kelas mereka. Namun tidak dengan Mala, tujuannya adalah aula sekolah. Ia membawa tasnya dan berjalan memasuki aula yang belum di kunci itu. Mala termenung untuk sesaat kemudian ia meletakkan tasnya di lantai begitu saja, ia mulai berlatih menari diiringi sebuah lagu yang berasal dari ponselnya. Dari tariannya Mala terlihat sangat marah dan kecewa. Air matanya pun tak sanggup ia bendung lagi. Mala terus menari, seakan ingin meluapkan kemarahan dan kekecewaannya melalui tarian itu.
“…gue temenan sama dia kan Cuma mau ikutan populer, bukan mau ikutan dapet masalah di sekolah…” kata-kata Rena terus terngiang di telinga Mala.
Ternyata di sekolah masih ada yang belum pulang, dia adalah Kikan. Kikan berniat untuk pulang, ia melewati aula sekolah menuju gerbang. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara musik yang tidak terlalu kencang berasal dari aula sekolah, Kikan menoleh ke dalam melalui kaca yang ada di pintu itu. Kikan menatap Mala yang sedang menari, perlahan tangannya bergerak memegang gagang pintu aula tersebut.
“Mala? Kamu Mala kan?” tanya Kikan memastikan,
Mala menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Air matanya belum sempat ia hapus.
“Kikan?” ucap Mala terkejut, ia segera menghapus air mata di pipinya.
“Kamu kenapa?” tanya Kikan mulai khawatir.
Mala pun berhenti menari dan duduk di sebuah bangku panjang yang berada tak jauh dari tempatnya berlatih menari. Kikan melangkahkan kakinya dan berjalan menghampiri Mala.
“Aku sedih, kecewa dan marah.” Jawab Mala.
“Sama siapa?”
“Sama diri gue sendiri.”
Kikan merasa heran pada jawaban terakhir Mala.
“Bagaimana bisa?” tanya Kikan lagi,
“Gak taulah, tapi gue ngerasa dunia mulai membenci gue. Satu persatu masalah berdatangan, gue sadar ini semua emang kesalahan gue.” Jawab Mala sambil menangis.
“Kamu gak boleh bilang kaya gitu, semua itu mungkin ujian buat kamu. Aku pernah dengar pepatah, semakin besar sebuah kapal maka ombak yang datangpun akan semakin besar.” ucap Kikan berusaha menguatkan Mala.
“Gue gak yakin bisa ngelewatin semua ini.” ucap Mala.
“Kamu harus bisa, dan aku yakin kamu pasti bisa.” Ucap Kikan sambil tersenyum pada Mala.
Mala terdiam untuk sesaat, ia seperti memikirkan sesuatu.
“Kikan!!” panggil Mala.
“Iya? Kenapa?”
“Loe mau gak bantuin gue?”
“Bantu apa? Kalo aku bisa pasti aku bantu kok.”
Mala tersenyum mendengar jawaban Kikan.
“Loe pasti bisa, untuk hal ini loe ahlinya. Bantu gue buat ningkatin nilai akademik gue, bantu gue belajar, gue mohon.” Jawab Mala sambil merapatkan kedua telapak tangannya.
“Oh itu, ya udah kamu gabung aja ke kelompok belajar kelasku. Setiap minggu di rumahku.” Jawab Kikan.
“Berarti besok dong?”
“Iya.”
“Oh iya boleh gue tanya sesuatu.”
“Apa”
“Apa rahasia loe bisa pintar kaya gitu?”
“Mungkin karena hobi aku…”
Mala menunggu kelanjutan ucapan Kikan.
“Ya, karena aku punya hobi membaca, lewat membaca aku tahu sesuatu yang belum aku tahu.” Lanjut Kikan.
“Dari tadi kamu terus yang nanya, sekarang boleh aku tanya sama kamu.”
“Tentu, emang mau nanya apa sama gue?”
“Gimana cara kamu bisa jadi populer dan punya banyak teman?”
Mala tertawa mendengar pertanyaan Kikan, tentu saja hal itu membuat Kikan heran.
“Kalo temen saat gue senang emang banyak, tapi temen saat gue sedih gak ada satu pun. Loe liat sendiri sekarang aja gue nangis sendirian kan?”
Kikan menoleh ke kanan dan ke kiri, ia baru menyadari bahwa tak ada siapapun di aula itu selain mereka berdua.
“Siapa bilang kamu nangis sendiri? Kan ada aku, mulai hari ini jangan pernah nangis sendiri lagi. Kalo kamu butuh pundak untuk bersandar, aku bersedia jadi pundak itu. Kalo kamu butuh tangan yang membantu kamu bangun saat jatuh, aku akan selalu siap mengulurkan tanganku.” Jawab Kikan sambil berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Iya seperti sekarang. Ayo pulang, kayanya aula ini sebentar lagi mau di kunci.” Ajak Kikan sambil masih mengulurkan tangannya.
Mala tersenyum dan meraih tangan Kikan. Namun kini Kikan yang meneteskan air mata.
“Hey loe kenapa?”
“Apa kamu mau jadi sahabat aku?”
“Tentu. Loe baik dan tulus, siapa yang gak mau jadi sahabat loe.” Jawab Mala.
“Aku senang akhirnya bisa memiliki seorang sahabat.”
Mala menatap Kikan dengan tatapan heran.
“Permisi, apa masih ada orang?” terdengar suara dari luar aula.
“Kalian belum pulang? Aulanya mau saya kunci.” Ucap petugas kebersihan sekolah itu.
“Sudah, kami baru saja mau pulang.” jawab Kikan.
Akhirnya mereka pun keluar dari aula itu dan pulang. Mereka tidak bisa pulang bersama karena rumah mereka tidak satu arah.
Sejak hari itu, Mala dan Kikan semakin akrab. Mala sering datang kerumah Kikan dan belajar bersamanya. Dan perlahan nilai Mala mulai ada perubahan, meski namanya belum bisa masuk ke papan peringkat sekolah, Mala tetap senang karena ia akhirnya memiliki sahabat yang bisa membantunya dan mau mengulurkan tangannya saat ia terjatuh, begitu juga dengan Kikan, meski hari-harinya masih di penuhi dengan membaca buku. Tapi kini ia senang karena ada sahabat yang selalu menanyakan apakah buku yang ia baca itu menarik.
Waktu ujian pun tiba, Mala kini merasa lebih siap menghadapi ujian itu. Kikan terus menyemangatinya dan mengatakan Mala pasti bisa menghadapinya. Hari-hari ujian terus berlalu, Mala dan Kikan bisa menghadapinya dengan baik, dan hari terakhir pun tiba. Di hari terakhir Mala terlihat lebih gugup dari sebelumnya. Namun Kikan tak pernah berhenti memberikan semangat untuknya.
“Akhirnya selesai juga ujiannya, makasih Kikan. Loe emang peri penyelamat gue.” Ucap Mala perlahan sesaat setelah keluar dari ruang ujian. Ia pun segera berlari menuju ruang ujian Kikan.
“Bagaimana hari ini Mal?” tanya Kikan sambil tersenyum.
“Gue bersyukur banget bisa ketemu sama loe, makasih banyak ya.” Ucap Mala
“Gak usah berterimakasih, itu semua karena usaha kamu juga.” Jawab Kikan.
Mala memeluk sahabatnya itu dengan penuh kasih sayang.
“Terus kamu mau ngelanjutin kemana?” tanya Kikan.
“Gue mau sekolah musik ke luar negeri gue udah mutusin buat jadi penyanyi, tapi gua mau belajar lebih banyak dulu tentang musik, loe sendiri gimana?”
“Aku mau jadi guru, aku mau ilmu yang udah aku punya bisa berguna buat orang lain.”
“Loe emang baik dan tulus, gue yakin loe bisa jadi guru yang hebat.”
“Kamu juga, aku yakin kamu bisa jadi penyanyi terkenal.”
*****
Tiga tahun berlalu, Mala dan Kikan sudah tidak pernah bertemu lagi, namun mereka masih tetap saling menghubungi satu sama lain, meski hanya untuk sekedar menanyakan kabar dan kegiatan masing-masing. Kikan mengatakan ia sudah mulai mengajar di beberapa tempat les, ia juga sering menerima tawaran mengajar privat. Sementara Mala, ia bercerita bahwa ia mulai mendapat tawaran bagus dari salah satu produser musik yang cukup terkenal.
Setelah mencari waktu yang tepat, akhirnya mereka pun menemukan waktu untuk bisa bertemu. Yaitu pada reuni SMA tiga hari lagi. Mala terlihat sudah menyiapkan beberapa barang yang akan ia bawa. Ia pun sudah memesan tiket pesawat sejak tiga hari yang lalu.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan akhirnya Mala tiba di bandara Seokarno-Hatta. Wajahnya terlihat berseri-seri karena akan bertemu sahabat yang sangat ia rindukan itu.
Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba, Mala sudah bersiap-siap untuk menghadiri reuni sekolahnya begitu juga dengan Kikan.
Semua teman-teman mereka sudah mulai berdatangan. Dan setelah semuanya lengkap acara pun di mulai.
“Hari ini ada seorang teman kalian yang akan memberikan kejutan untuk kita semua, ia akan mempersembahkan sebuah lagu untuk kita semua, inilah dia Malaaaa.” Ucap seorang guru.
Kikan yang berdiri di samping Mala pun langsung terkejut dan tersenyum mendengarnya. Sebelumnya ia dan Mala sempat melepas rindu, Mala meneteskan air mata saat bertemu kembali dengan Kikan begitu juga dengan Kikan.
Akhirnya Mala naik ke atas panggung dan mengambil microfon yang di berikan padanya.
“Sebelumnya saya ingin mempersembahkan lagu ini untuk sahabat terbaik yang pernah saya miliki, dia adalah Kikan.” Ucap Mala sesaat sebelum menyanyi.
Dan Mala pun mulai menyanyikan sebuah lagu yang berjudul “The Gift of a Friend” yang di populerkan oleh Demi Lovato.
Kikan meneteskan air mata saat mendengar nyanyian Mala. Dia bangga memiliki seorang sahabat seperti Mala.
Tak peduli sebanyak apapun pujian yang aku terima saat meraih suatu prestasi, yang membuatku lebih baik adalah memiliki seorang sahabat, meski hanya satu. Sahabat yang memanggilku bukan hanya saat dia terjatuh, tapi juga saat ia meraih sukses. Aku sangat bersyukur dan bahagia Tuhan telah mengirimkan sahabat terbaik seperti mu. –Kikan
Lagu yang dinyanyikan Mala pun selesai, diiringi tepuk tangan yang meriah dari semua teman-teman yang hadir. Rena datang menghampiri Mala dan mengulurkan tangannya sambil mengucapkan selamat.
“Suara kamu bagus banget Mal. Selamat ya, aku dengar kamu sudah mendapat tawaran menjadi penyanyi.” Ucap Rena, Mala tersenyum padanya dan meraih tangan Rena
“Terimakasih Ren.” Ucap Mala sambil tersenyum.
Satu per satu teman-temannya mengucapkan selamat pada Mala. Dan orang terakhir yang mengulurkan tangannya adalah Kikan. Mala tersenyum dan menyambut uluran tangan Kikan dengan bahagia, kemudian Mala memeluk Kikan.
Sahabat sejati bukanlah mereka yang mengulurkan tangannya saat kita berhasil meraih apa yang kita impikan, sahabat sejati adalah dia yang bersedia mengulurkan tangannya saat kita terjatuh. –Mala
Tak sedikit yang mengatakan kita akan menemukan siapa sahabat kita yang sebenarnya saat kita sudah merasakan pahitnya kegagalan. Setiap kejadian, pahit ataupun manis pasti selalu ada hikmah yang bisa di ambil darinya. Cara terbaik untuk melupakan kepahitan dan tidak terlalu terlena oleh manis yang hanya sesaat adalah dengan mensyukuri setiap kejadian yang di alami. Semoga cerita ini bisa menghibur dan memberikan manfaat yang positif untuk setiap orang yang mau membacanya.
Source:
http://wulandarum.wordpress.com/2014/01/02/rose-and-cactuss-story/